Jumat, 17 Januari 2014

Suatu Pagi di Musim Dingin di Airport Frankfurt


berpose sebelum memasuki pesawat Lufthansa -Frankfurt-

mendarat di Dresden dengan aman, disambut salju yang begitu tebal dan menyeret kopor menuju Apartemen yang jaraknya cukup jauh dari halte bus

aku berlari sekencang mungkin menerobos meja imigrasi dengan berteriak,
"I am late" sambil menujukkan tiket kepada petugas, hanya tinggal 5 menit waktuku untuk mencapai gate penerbangan berikutnya, nafasku tersengal sengal ketika sampai di meja khusus penerbangan Lufthansa di gate 13, penerbangan yang selanjutnya akan membawaku ke Dresden. Jarak gate tempat pesawat landing dengan gate untuk penerbanganku berikutnya ternyata cukup jauh. Aku masih mengatur nafas sambil menujukkan tiket kepada seorang wanita penjaga meja. Dia tersenyum manis sambil berkata,
"pesawat anda baru saja take off" aku melotot dan melirik jam tangan, jam 9 tepat, artinya aku terlambat 10 menit. Aku di Frankfurt di kota yang sama sekali asing bagiku dan sekarang ketinggalan pesawat pula. Aku bengong...melalui kaca besar airport aku tatap salju yang turun dengan deras, mematung untuk sekian detik dan kemudian aku dengar,
"tapi saya akan atur flight anda agar dapat terbang dengan pesawat berikutnya
aku tersenyum tak kalah manis dan berkata, " Danke, this is not my fault, the flight from Singapore was taking off late" dia membalas senyuman dan melakukan tugasnya memasukkan namaku untuk penerbangan berikutnya sebagai penumpang cadangan.
Oh seketika salju dingin di luar terasa hangat sehangat kopi pagi yang tersedia dengan gratis di airport itu.
Satu jam kemudian saya sudah di atas pesawat yang membawa ke Dresden. Salju masih turun dengan deras.

How I met Ibrahim for The First Time


August-2009
Ini perjalanan pertama kali saya ke Jerman. Ke negeri yang penduduknya pintar pintar dan sempurna tanpa cacat, begitu ayah saya biasanya bercerita, mengagumi kecerdasan orang orang Jerman. Saya rasa ayah saya bercerita demikian karena melihat BJ Habibie yang demikian pintar itu lulusan sebuah perguruan tinggi di Jerman, maka ayah saya berpikir pasti orang orang Jerman sepintar Habibie. Saya deg degan setiap kali ayah saya bercerita tentang orang orang Jerman, saya hanya berpikir semoga saya tidak melakukan hal bodoh yang memalukan di depan orang orang yang sempurna itu.
Sebenarnya ini bukan pertama kali saya ke Jerman, beberapa tahun lalu saya ke sana, tetapi naik mobil dari Amsterdam bersama seorang sahabat. Saya ingat hari itu saya ketiga negara yang berbeda dalam 1 hari, makan pagi di Amsterdam, makan siang di Belgia dan menikmati kopi dan cake di sore hari di Jerman dan makan malam di Amsterdam. Di negara-negara kecil namun begitu maju itu cukup beberapa jam berkendara saja maka kita sudah sampai di negara yang berbeda. Saya iri, bahkan 12 jam mengendara mobil dari Jakarta maka saya akan sampai di Surabaya, masih wilayah Indonesia juga. Ah tapi sebenarnya saya bangga juga kok dengan Indonesia yang demikian luasnya ini.
Oh ya masih cerita perjalanan saya, kemudian saya mendarat di Doha, Qatar. Di negeri yang kaya minyak ini saya transit selama 3 jam. Sampai akhirnya tibalah saya harus terbang lagi menuju tujuan akhir, Berlin. Di dalam bus yang mengantarkan penumpang dari ruang tunggu ke tempat pesawat parkir, saya melihat seorang pria bermuka arab, berkulit putih, berhidung mancung memegang passport berwarna hijau bertuliskan Pakistan.
Saya beranikan diri mendekatinya dan bertanya
‘hi are you Ibrahim from Pakistan?”
“yes, how do you know?”
“ I was behind you when the staff asked about your destination, I thought you must be Ibrahim, you were saying about internship thing, and I got all your emails and I think we are in the same flight”
“ohh cool, what’s your name?”
berpose di Alexander Platz

Hari kedua di Berlin,exploring...


Kami kemudian berbicara tentang bahwa dia akan magang di sebuah lembaga teater di Berlin, dan bahwa saya akan magang di sebuah Film Festival Asia di Berlin. Ya kami berdua adalah penerima beasiswa dari sebuah lembaga di Stuttgart untuk melakukan magang di lembaga yang diminati. Tentu saya sudah tahu nama nama penerima beasiswa, dari negara mana mereka berasal, akan magang di lembaga apa, kota apa dan kapan mereka akan tiba di kota kota yang tersebar di seluruh Jerman termasuk Ibrahim. Pemberi beasiswa  menginformasikan hal hal tersebut kepada kami. Itulah mengapa juga saya menerima email email Ibrahim, karena ia tahu dari daftar yang ia terima ada nama saya di kota yang sama dengannya.
Saya senang, belum sampai Berlin saya sudah mendapatkan teman. Ibrahim ini yang kemudian menjadi teman saya menjelajah Berlin, bersama Ibrahim pula saya tersesat ketika mencoba menemukan alamat sebuah masjid untuk mengikuti buka puasa bersama dan sholat tarawih. Ya saat itu bulan Ramadhan, di pergantian musim panas ke musim gugur, dimana matahari masih bersinar sampai jam 8 malam.
Ssstt tapi ada satu hal, cerita ayah saya tentang orang orang Jerman yang pintarnya sempurna itu tidak 100 persen benar lho.

Kamis, 16 Januari 2014

Bi Nanah

Akhir pekan lalu aku pergi ke sebuah desa bernama Cibedug. Desa  ini dikelilingi oleh bukit, sawah dengan sungai kecil mengalir di sisinya dan gunung salak yang nampak jelas dari beranda  sebuah rumah tempat aku biasa memandanginya atau memandang kerbau yang sedang membajak sawah, ya kerbau yang saat ini sudah sangat langka ditemukan untuk membajak sawah itu masih digunakan  petani  desa Cibedug  untuk membajak sawah mereka. Terdengar seperti dongeng indah dalam cerita memang, tapi itulah desa kakakku tercinta. Tempat beliau menanamkan cintanya untuk suami dan anak-anaknya, membangun keluarga bahagia di desa kecil ini. Sebenarnya perempuan yang aku sebut kakak ini bukanlah kakak kandungku, usianya sama dengan usia ibuku. Aku mengenalnya ketika kami sama sama mendapat beasiswa untuk kursus bahasa Jerman di Jerman. Ia guru bahasa Jerman di sebuah SMU di Bogor dan saya baru mulai belajar bahasa Jerman, tentu kelas kursus kami berbeda. Kami sangat dekat ketika di Jerman dan kedekatan itu berlanjut sampai kami pulang ke Indonesia. Kami sudah seperti keluarga, Ia sudah seperti kakakku sendiri. Hampir setiap bulan aku mengunjunginya. Anak anak nya  yang perempuan semua itu juga sudah seperti adik-adikku. Mereka berdua anak anak yang manis dan sangat santun. Bagiku mereka adalah keluarga kecil bersahaja yang selalu menjadi panutanku. Suatu saat aku akan bercerita tentang mereka. Untuk kali ini, aku ingin bercerita tentang perempuan lain yang juga selalu aku nantikan ketika bertandang ke desa ini.
surprise banget melihat kerbau membajak sawah, seperti di buku cerita. pemandangan ini bisa dilihat dari beranda rumah lho

Ini rumah indah itu
diselimuti kabut


Nah di desa ini selain mengunjungi kakakku dan anak anaknya yang selalu kurindukan itu, aku biasanya juga suka sekali dipijit. Bi Nanah nama pemijit itu, ia satu satunya tukang pijit yang aku suka dan cocok. Bi Nanah belumlah tua benar, aku rasa usianya sekitar 50 tahun lebih sedikit, jalannya masih tegak lurus dan terlihat segar bugar. Kulitnya  seperi kebanyakan warna kulit perempuan Indonesia, rambutnya selalu diikat,sebenarnya aku tidak memperhatikan apakah rambutnya hanya diikat saja atau dikonde atau dicepol, wajahnya bertipe bulat dan bi Nanah selalu mengenakan rok.
Selama ini aku tidak suka dipijit karena aku merasa geli jika ada yang memegang bagian tubuhku, aku biasanya meronta dan selama ini aku merasa aktivitas dipijit itu tidak ada gunanya, tidak ada pengaruh apapun ke tubuhku. Tetapi melalui tangan bi Nanah, wah badanku yang pegal pegal, pundakku yang sakit berganti menjadi segar seketika. Aku bisa merasakan urat-uratku  yang mengeriting diurut diluruskan kembali.  Biasanya aku hanya mengenakan selembar kain atau sarung, tanpa pakaian dalam, lalu tidur tengkurap dan bi Nanah akan memijit dimulai dari bagian bawah, dari kaki sampai kepala, bagian depan lalu bagian depan, dari posisi tengkurap dampai posisi duduk. Satu hal yang istimewa adalah bi Nanah tidak menggunakan sembarang minyak . Ia membawa minyak hasil ramuannya sendiri yang terbuat dari campuran minyak santan, daun sirih, daun pandan, daun salam, kayu manis, cengkeh, biji pala, jahe dan sedikit garam. Pantas minyak itu terasa nyaman, wangi dan segar di tubuh. Aku selalu rindu pijitan tangan halus bi Nanah.

Hampir setiap bulan aku mengunjungi kakkku dan tiap bulan itu pula aku rindu dipijit dengan ditemani suara air mengalir dari sungai kecil tak jauh dari rumah kakakku yang memantul melalui bukit atau suara aneka serangga dan udara yang begitu sejuk membuat aku terkantuk kantuk jika sedang dipijit. Setelah itu hanya segar yang kurasakan.Tidak perlu membayar mahal seperti spa di Bali atau pijit di Mal yang sampai ratusan ribu. Aku cukup membayar 40.000 rupiah saja.
Bi Nanah biasanya datang setelah aku telepon atau sms. Ia datang diantar ojek, mengucap salam “Assalamualaikum”, dan kami bersalaman  lalu sedikit bertanya tentang kabar dan menyilakan bi Nanah meminum minuman yang sudah disiapkan, begitu biasanya ritual untuk menyambut bi Nanah.
Hari itu, aku tetap men yimpan rindu dipijit bi Nanah yang setiap kali memijitku ia selalu berkomentar “neng mulus pisan” lalu kami bercerita banyak hal, tapi biasanya aku selalu terkantuk kantuk seperti yang kusebutkan tadi. Tapi aku masih ingat banyak hal tentang bi Nanah. Rumah bi Nanah terletak di desa seberang, di desa yang ada pancuran air yang mengalir langsung dari pegunungan. Siapa saja boleh mandi di situ. Ia hidup hanya bersami suami yang sudah tidak mampu lagi bekerja dan cucu perempuannya. Anak perempuan bi Nanah yang merupakan ibu si cucu bekerja di luar pulau Jawa sedangkan suaminya sudah lama meninggalkannya.

Itulah bi Nanah yang selalu setia menjadi  pemijit dengan segala kesederhanannya.

Namun bi Nanah sekarang sudah tidak ada lagi. Satu bulan yang lalu kakakku mengabarkan  bi Nanah telah meninggal tanpa diketahui sebabnya. Aku shock, betul betul terkejut. Tak ada tanda tanda bi Nanah sakit, Ia segar, benar benar segar dan sehat. Sampai sekarang aku sedih dan tetap menyimpan rindu untuk dipijit olehnya dan rindu pujiannya “neng mulus pisan” Ah bi Nanah…

menikmati pijitan bi Nanah