Akhir pekan lalu aku pergi ke sebuah desa bernama Cibedug.
Desa ini dikelilingi oleh bukit, sawah
dengan sungai kecil mengalir di sisinya dan gunung salak yang nampak jelas dari
beranda sebuah rumah tempat aku biasa
memandanginya atau memandang kerbau yang sedang membajak sawah, ya kerbau yang
saat ini sudah sangat langka ditemukan untuk membajak sawah itu masih
digunakan petani desa Cibedug untuk membajak sawah mereka. Terdengar seperti dongeng indah dalam cerita
memang, tapi itulah desa kakakku tercinta. Tempat beliau menanamkan cintanya
untuk suami dan anak-anaknya, membangun keluarga bahagia di desa kecil ini.
Sebenarnya perempuan yang aku sebut kakak ini bukanlah kakak kandungku, usianya
sama dengan usia ibuku. Aku mengenalnya ketika kami sama sama mendapat beasiswa
untuk kursus bahasa Jerman di Jerman. Ia guru bahasa Jerman di sebuah SMU di
Bogor dan saya baru mulai belajar bahasa Jerman, tentu kelas kursus kami
berbeda. Kami sangat dekat ketika di Jerman dan kedekatan itu berlanjut sampai
kami pulang ke Indonesia. Kami sudah seperti keluarga, Ia sudah seperti kakakku
sendiri. Hampir setiap bulan aku mengunjunginya. Anak anak nya yang perempuan semua itu juga sudah seperti
adik-adikku. Mereka berdua anak anak yang manis dan sangat santun. Bagiku
mereka adalah keluarga kecil bersahaja yang selalu menjadi panutanku. Suatu
saat aku akan bercerita tentang mereka. Untuk kali ini, aku ingin bercerita
tentang perempuan lain yang juga selalu aku nantikan ketika bertandang ke desa
ini.
|
surprise banget melihat kerbau membajak sawah, seperti di buku cerita. pemandangan ini bisa dilihat dari beranda rumah lho
|
|
Ini rumah indah itu
|
|
diselimuti kabut |
Nah di desa ini selain mengunjungi kakakku dan anak anaknya
yang selalu kurindukan itu, aku biasanya juga suka sekali dipijit. Bi Nanah
nama pemijit itu, ia satu satunya tukang pijit yang aku suka dan cocok. Bi
Nanah belumlah tua benar, aku rasa usianya sekitar 50 tahun lebih sedikit,
jalannya masih tegak lurus dan terlihat segar bugar. Kulitnya seperi kebanyakan warna kulit perempuan
Indonesia, rambutnya selalu diikat,sebenarnya aku tidak memperhatikan apakah
rambutnya hanya diikat saja atau dikonde atau dicepol, wajahnya bertipe bulat
dan bi Nanah selalu mengenakan rok.
Selama ini aku tidak
suka dipijit karena aku merasa geli jika ada yang memegang bagian tubuhku, aku
biasanya meronta dan selama ini aku merasa aktivitas dipijit itu tidak ada
gunanya, tidak ada pengaruh apapun ke tubuhku. Tetapi melalui tangan bi Nanah,
wah badanku yang pegal pegal, pundakku yang sakit berganti menjadi segar
seketika. Aku bisa merasakan urat-uratku yang mengeriting diurut diluruskan kembali. Biasanya aku hanya mengenakan selembar kain
atau sarung, tanpa pakaian dalam, lalu tidur tengkurap dan bi Nanah akan
memijit dimulai dari bagian bawah, dari kaki sampai kepala, bagian depan lalu
bagian depan, dari posisi tengkurap dampai posisi duduk. Satu hal yang istimewa
adalah bi Nanah tidak menggunakan sembarang minyak . Ia membawa minyak hasil
ramuannya sendiri yang terbuat dari campuran minyak santan, daun sirih, daun
pandan, daun salam, kayu manis, cengkeh, biji pala, jahe dan sedikit garam.
Pantas minyak itu terasa nyaman, wangi dan segar di tubuh. Aku selalu rindu
pijitan tangan halus bi Nanah.
Hampir setiap bulan aku mengunjungi kakkku dan tiap bulan
itu pula aku rindu dipijit dengan ditemani suara air mengalir dari sungai kecil
tak jauh dari rumah kakakku yang memantul melalui bukit atau suara aneka
serangga dan udara yang begitu sejuk membuat aku terkantuk kantuk jika sedang
dipijit. Setelah itu hanya segar yang kurasakan.Tidak perlu membayar mahal seperti
spa di Bali atau pijit di Mal yang sampai ratusan ribu. Aku cukup membayar
40.000 rupiah saja.
Bi Nanah biasanya datang setelah aku telepon atau sms. Ia
datang diantar ojek, mengucap salam “Assalamualaikum”, dan kami bersalaman lalu sedikit bertanya tentang kabar dan
menyilakan bi Nanah meminum minuman yang sudah disiapkan, begitu biasanya
ritual untuk menyambut bi Nanah.
Hari itu, aku tetap men yimpan rindu dipijit bi Nanah yang
setiap kali memijitku ia selalu berkomentar “neng mulus pisan” lalu kami
bercerita banyak hal, tapi biasanya aku selalu terkantuk kantuk seperti yang
kusebutkan tadi. Tapi aku masih ingat banyak hal tentang bi Nanah. Rumah bi
Nanah terletak di desa seberang, di desa yang ada pancuran air yang mengalir
langsung dari pegunungan. Siapa saja boleh mandi di situ. Ia hidup hanya
bersami suami yang sudah tidak mampu lagi bekerja dan cucu perempuannya. Anak
perempuan bi Nanah yang merupakan ibu si cucu bekerja di luar pulau Jawa
sedangkan suaminya sudah lama meninggalkannya.
Itulah bi Nanah yang selalu setia menjadi pemijit dengan segala kesederhanannya.
Namun bi Nanah sekarang sudah tidak ada lagi. Satu bulan
yang lalu kakakku mengabarkan bi Nanah
telah meninggal tanpa diketahui sebabnya. Aku shock, betul betul terkejut. Tak
ada tanda tanda bi Nanah sakit, Ia segar, benar benar segar dan sehat. Sampai
sekarang aku sedih dan tetap menyimpan rindu untuk dipijit olehnya dan rindu
pujiannya “neng mulus pisan” Ah bi Nanah…
|
menikmati pijitan bi Nanah |