Jumat, 17 Januari 2014

How I met Ibrahim for The First Time


August-2009
Ini perjalanan pertama kali saya ke Jerman. Ke negeri yang penduduknya pintar pintar dan sempurna tanpa cacat, begitu ayah saya biasanya bercerita, mengagumi kecerdasan orang orang Jerman. Saya rasa ayah saya bercerita demikian karena melihat BJ Habibie yang demikian pintar itu lulusan sebuah perguruan tinggi di Jerman, maka ayah saya berpikir pasti orang orang Jerman sepintar Habibie. Saya deg degan setiap kali ayah saya bercerita tentang orang orang Jerman, saya hanya berpikir semoga saya tidak melakukan hal bodoh yang memalukan di depan orang orang yang sempurna itu.
Sebenarnya ini bukan pertama kali saya ke Jerman, beberapa tahun lalu saya ke sana, tetapi naik mobil dari Amsterdam bersama seorang sahabat. Saya ingat hari itu saya ketiga negara yang berbeda dalam 1 hari, makan pagi di Amsterdam, makan siang di Belgia dan menikmati kopi dan cake di sore hari di Jerman dan makan malam di Amsterdam. Di negara-negara kecil namun begitu maju itu cukup beberapa jam berkendara saja maka kita sudah sampai di negara yang berbeda. Saya iri, bahkan 12 jam mengendara mobil dari Jakarta maka saya akan sampai di Surabaya, masih wilayah Indonesia juga. Ah tapi sebenarnya saya bangga juga kok dengan Indonesia yang demikian luasnya ini.
Oh ya masih cerita perjalanan saya, kemudian saya mendarat di Doha, Qatar. Di negeri yang kaya minyak ini saya transit selama 3 jam. Sampai akhirnya tibalah saya harus terbang lagi menuju tujuan akhir, Berlin. Di dalam bus yang mengantarkan penumpang dari ruang tunggu ke tempat pesawat parkir, saya melihat seorang pria bermuka arab, berkulit putih, berhidung mancung memegang passport berwarna hijau bertuliskan Pakistan.
Saya beranikan diri mendekatinya dan bertanya
‘hi are you Ibrahim from Pakistan?”
“yes, how do you know?”
“ I was behind you when the staff asked about your destination, I thought you must be Ibrahim, you were saying about internship thing, and I got all your emails and I think we are in the same flight”
“ohh cool, what’s your name?”
berpose di Alexander Platz

Hari kedua di Berlin,exploring...


Kami kemudian berbicara tentang bahwa dia akan magang di sebuah lembaga teater di Berlin, dan bahwa saya akan magang di sebuah Film Festival Asia di Berlin. Ya kami berdua adalah penerima beasiswa dari sebuah lembaga di Stuttgart untuk melakukan magang di lembaga yang diminati. Tentu saya sudah tahu nama nama penerima beasiswa, dari negara mana mereka berasal, akan magang di lembaga apa, kota apa dan kapan mereka akan tiba di kota kota yang tersebar di seluruh Jerman termasuk Ibrahim. Pemberi beasiswa  menginformasikan hal hal tersebut kepada kami. Itulah mengapa juga saya menerima email email Ibrahim, karena ia tahu dari daftar yang ia terima ada nama saya di kota yang sama dengannya.
Saya senang, belum sampai Berlin saya sudah mendapatkan teman. Ibrahim ini yang kemudian menjadi teman saya menjelajah Berlin, bersama Ibrahim pula saya tersesat ketika mencoba menemukan alamat sebuah masjid untuk mengikuti buka puasa bersama dan sholat tarawih. Ya saat itu bulan Ramadhan, di pergantian musim panas ke musim gugur, dimana matahari masih bersinar sampai jam 8 malam.
Ssstt tapi ada satu hal, cerita ayah saya tentang orang orang Jerman yang pintarnya sempurna itu tidak 100 persen benar lho.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar