Kamis, 16 Januari 2014

Bi Nanah

Akhir pekan lalu aku pergi ke sebuah desa bernama Cibedug. Desa  ini dikelilingi oleh bukit, sawah dengan sungai kecil mengalir di sisinya dan gunung salak yang nampak jelas dari beranda  sebuah rumah tempat aku biasa memandanginya atau memandang kerbau yang sedang membajak sawah, ya kerbau yang saat ini sudah sangat langka ditemukan untuk membajak sawah itu masih digunakan  petani  desa Cibedug  untuk membajak sawah mereka. Terdengar seperti dongeng indah dalam cerita memang, tapi itulah desa kakakku tercinta. Tempat beliau menanamkan cintanya untuk suami dan anak-anaknya, membangun keluarga bahagia di desa kecil ini. Sebenarnya perempuan yang aku sebut kakak ini bukanlah kakak kandungku, usianya sama dengan usia ibuku. Aku mengenalnya ketika kami sama sama mendapat beasiswa untuk kursus bahasa Jerman di Jerman. Ia guru bahasa Jerman di sebuah SMU di Bogor dan saya baru mulai belajar bahasa Jerman, tentu kelas kursus kami berbeda. Kami sangat dekat ketika di Jerman dan kedekatan itu berlanjut sampai kami pulang ke Indonesia. Kami sudah seperti keluarga, Ia sudah seperti kakakku sendiri. Hampir setiap bulan aku mengunjunginya. Anak anak nya  yang perempuan semua itu juga sudah seperti adik-adikku. Mereka berdua anak anak yang manis dan sangat santun. Bagiku mereka adalah keluarga kecil bersahaja yang selalu menjadi panutanku. Suatu saat aku akan bercerita tentang mereka. Untuk kali ini, aku ingin bercerita tentang perempuan lain yang juga selalu aku nantikan ketika bertandang ke desa ini.
surprise banget melihat kerbau membajak sawah, seperti di buku cerita. pemandangan ini bisa dilihat dari beranda rumah lho

Ini rumah indah itu
diselimuti kabut


Nah di desa ini selain mengunjungi kakakku dan anak anaknya yang selalu kurindukan itu, aku biasanya juga suka sekali dipijit. Bi Nanah nama pemijit itu, ia satu satunya tukang pijit yang aku suka dan cocok. Bi Nanah belumlah tua benar, aku rasa usianya sekitar 50 tahun lebih sedikit, jalannya masih tegak lurus dan terlihat segar bugar. Kulitnya  seperi kebanyakan warna kulit perempuan Indonesia, rambutnya selalu diikat,sebenarnya aku tidak memperhatikan apakah rambutnya hanya diikat saja atau dikonde atau dicepol, wajahnya bertipe bulat dan bi Nanah selalu mengenakan rok.
Selama ini aku tidak suka dipijit karena aku merasa geli jika ada yang memegang bagian tubuhku, aku biasanya meronta dan selama ini aku merasa aktivitas dipijit itu tidak ada gunanya, tidak ada pengaruh apapun ke tubuhku. Tetapi melalui tangan bi Nanah, wah badanku yang pegal pegal, pundakku yang sakit berganti menjadi segar seketika. Aku bisa merasakan urat-uratku  yang mengeriting diurut diluruskan kembali.  Biasanya aku hanya mengenakan selembar kain atau sarung, tanpa pakaian dalam, lalu tidur tengkurap dan bi Nanah akan memijit dimulai dari bagian bawah, dari kaki sampai kepala, bagian depan lalu bagian depan, dari posisi tengkurap dampai posisi duduk. Satu hal yang istimewa adalah bi Nanah tidak menggunakan sembarang minyak . Ia membawa minyak hasil ramuannya sendiri yang terbuat dari campuran minyak santan, daun sirih, daun pandan, daun salam, kayu manis, cengkeh, biji pala, jahe dan sedikit garam. Pantas minyak itu terasa nyaman, wangi dan segar di tubuh. Aku selalu rindu pijitan tangan halus bi Nanah.

Hampir setiap bulan aku mengunjungi kakkku dan tiap bulan itu pula aku rindu dipijit dengan ditemani suara air mengalir dari sungai kecil tak jauh dari rumah kakakku yang memantul melalui bukit atau suara aneka serangga dan udara yang begitu sejuk membuat aku terkantuk kantuk jika sedang dipijit. Setelah itu hanya segar yang kurasakan.Tidak perlu membayar mahal seperti spa di Bali atau pijit di Mal yang sampai ratusan ribu. Aku cukup membayar 40.000 rupiah saja.
Bi Nanah biasanya datang setelah aku telepon atau sms. Ia datang diantar ojek, mengucap salam “Assalamualaikum”, dan kami bersalaman  lalu sedikit bertanya tentang kabar dan menyilakan bi Nanah meminum minuman yang sudah disiapkan, begitu biasanya ritual untuk menyambut bi Nanah.
Hari itu, aku tetap men yimpan rindu dipijit bi Nanah yang setiap kali memijitku ia selalu berkomentar “neng mulus pisan” lalu kami bercerita banyak hal, tapi biasanya aku selalu terkantuk kantuk seperti yang kusebutkan tadi. Tapi aku masih ingat banyak hal tentang bi Nanah. Rumah bi Nanah terletak di desa seberang, di desa yang ada pancuran air yang mengalir langsung dari pegunungan. Siapa saja boleh mandi di situ. Ia hidup hanya bersami suami yang sudah tidak mampu lagi bekerja dan cucu perempuannya. Anak perempuan bi Nanah yang merupakan ibu si cucu bekerja di luar pulau Jawa sedangkan suaminya sudah lama meninggalkannya.

Itulah bi Nanah yang selalu setia menjadi  pemijit dengan segala kesederhanannya.

Namun bi Nanah sekarang sudah tidak ada lagi. Satu bulan yang lalu kakakku mengabarkan  bi Nanah telah meninggal tanpa diketahui sebabnya. Aku shock, betul betul terkejut. Tak ada tanda tanda bi Nanah sakit, Ia segar, benar benar segar dan sehat. Sampai sekarang aku sedih dan tetap menyimpan rindu untuk dipijit olehnya dan rindu pujiannya “neng mulus pisan” Ah bi Nanah…

menikmati pijitan bi Nanah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar