Sabtu, 03 Mei 2014

Mie Ayam Ijo-Bogor

Liburan ke Bogor kali ini, saya memang sudah niatkan untuk berwisata kuliner. Saya akan hunting makanan yang terletak di jalan raya tapos III atau yg terkenal dengan Seseupan yang terletak di Ciawi. Saya tidak hunting di kota Bogor, karena saya pikir tentu sudah banyak yang tahu makanan apa saja yang tersaji di kota Bogor, karena rata rata pengunjung dari luar kota pasti akan banyak yang mencicipi jajanan di kota Bogor yang memang menyajikan variasi makanan yang sepertinya tidak pernah habis. Untuk menuju Jalan Raya Tapos memang agak jauh menuju dari kota Bogor, harus menempuh perjalanan sekitar satu jam.

Setelah mencoba batagor sehat tanpa vetsin, tanpa pengenyal dan tanpa pengawet, saya putuskan untuk hunting makanan sehat lain yang semuanya hanya yg ada di Jalan Raya Tapos III.
Saya menemukan rumah makan Mie Ayam Ijo atau disebut juga dengan Mie Ayam hejo dalam bahasa sunda. Saya sering melewati rumah makan ini jika berkunjung ke rumah saudara saya yang terletak hanya sekitar 10 menit dari rumah makan Mie ayam ijo ini,tetapi memang belum pernah mencoba.

Saya yang liburan ini ke sana bersama seorang teman, berniat mencicip mie ayam ijo ini.
Terletak di sebelah kanan jalan dari arah seseupan-Ciawi,dengan berpatokan pada SMU Ciawi,rumah makan ini terletak di depan SMU Ciawi. Ketika kami masuk, terlihat beberapa pengunjung yang terlihat sedang bersenda gurau dengan suara keras. Menu kemudian disodorkan oleh pemilik rumah makan yang turun tangan melayani langsung pelanggannya. Ternyata selain mie ayam ijo,ada varian mie lain yaitu mie orange, mie hitam dan mie biasa.
Mie ijo adalah mie dengan pewarna dari sayur mayur, mie orange menggunakan pewarna dari wortel dan mie hitam pewarna terbuat dari tinta cumi. Saya memesan mie ayam orange baso, dan teman saya memesan mie ayam ijo baso,per mangkoknya hanya sebelas ribu saja. Jika memesan mie ayam tanpa baso maka hanya Sembilan ribu saja.

Tidak lama, pesanan datang, disajikan dengan ditaburi ayam dipotong dadu, seperti mie ayam pada umumnya dan sayur sawi serta pangsit. Mie nya sedikit, mangkok tidak penuh seperti mie ayam biasanya. Kami langsung makan,dan enak sekali, mie ayam orange saya terasa ada sedikit rasa manis mungkin karena wortel yangg digunakan. Kami makan dengan lahap. Saya suka dengan porsi mie yg tidak menggunung di mangkok.

Kebetulan saya berbincang bincang juga dengan pemilik rumah makan ini yang saya rasa pasangan suami istri. Si istri bernama Erna dan si suami yang berpotongan rambut cepak ini berasal dari Solo dan bernama Joko Widodo, nama yang sama dengan nama mantan gubernur Solo.
Mereka lalu bercerita bahwa telah berjualan mie ayam selama dua tahun,mie dibuat sndiri dengan menggunakan konsep makanan sehat, maka mbak Erna tidak menggunakan pengenyal, pengawet dan pengembang. Itulah mengapa mie tidak menggunung di mangkok namun padat dan tetap membuat kenyang. Baso yg menemani mie pun dibuat sndiri.
Setelah makan mie, pilihan minuman juga banyak tersedia, saya memilih jus viber,yaitu jus sayur mayur dicampur buah. Jus berwarna hijau ini begitu segar, manis dan ada rasa asam. Ada campuran jeruk nipisnya begitu mbak erna menjelaskan. Ada rasa sayur yang sedikit langu namun tidak kentara, tertutup dengan jeruk nipis. Bagi saya jus sayur tentu tidak afdhol kalau tidak ada rasa sayur mayurnya sama sekali.
Kedai mie ayam ijo menurut saya sangat masuk akal untuk dijadikan pilihan berkuliner sehat, harga setiap menunya pun sangat murah.
Kedai ini buka dari jam 7 pagi diawali dengan pilihan menu  nasi uduk dan lontong sayur untuk saparan sampai jam 10.30, di atas jam 10.30 pelanggan bisa menikmati aneka mie ayam dan menu lain sampai sekita pukul 9 atau 10 malam.

-April 2014, Sofia Setyorini-


Batagor Sehat-Jalan Raya Tapos, Ciawi-Bogor

Batagor adalah makanan yang banyak dijumpai di Bandung maupun di Bogor bahkan Jakarta, makanan asli Jawa Barat ini memang sudah melakukan expansi ke beberapa kota di Indonesia termasuk di Jawa Timur maupun Jawa Tengah. Saya banyak menemukan batagor di kota-kota kecil di Jawa Timur dengan penampilan dan rasa yang sudah mengalami penyesuaian.
Long weekend atau liburan akhir pekan panjang yang lalu dalam rangka liburan paskah saya mengunjungi tante saya yang rumahnya terletak di sebuah desa bernama Cibedug. Letak desa ini di belakang pasar Caringin- Ciawi. Desa nya masih asri dikeliling bukit dan sawah, dan pemandangan gunung gede terlihat dengan jelas, benar benar mempesona. Sepanjang jalan raya tapos ini banyak kedai makanan. Aneka makanan ditawarkan. Saya mmemutuskan untuk mencicipi beberapa makanan yang tersedia sepanjang jalan raya tapos ini. Saya memang berharap menemukan makanan yang sedikit berbeda dengan makanan lainnya, namun juga tentu tidak keberatan mencoba makanan yang sudah umum namun berbeda. Maka saya memutuskan untuk mencoba batagor atau baso tahu goreng. Saya penggemar berat batagor karena saya memang suka makanan gurih. Saya mampir ke Kedai batagor diantar seorang teman. Saya belum pernah ke sini sebelumnya. Hari itu masih jam 10 pagi, belum ada pengunjung di kedai, karena memang baru buka. Kedai batagor ini menyediakan menu lain yaitu mie ayam yamin, dan dua jenis batagor yaitu batagor kuah dan batagor kering. Saya memesan batagor kering. Batagor kering adalah batagor dengan bumbu saus kacang dan batagor kuah adalah batagor yang diberi kkuah mirip kuah baso. Saya tertarik mencoba batagor ini karena di depan kedai terpampang tulisan tanpa vetsin, tanpa pengenyal dan tanpa pengawet, tentu rasanya akan berbeda, kebetulan saya penyuka makanan sehat dan anti vetsin, maka tentu ini pilihan pas. Saya kemudian memesan satu porsi dan dibawa pulang ke rumah tante saya.
Si abang penjual sempat menanyakan apakah batagor akan dimakan di sini atau dibawa di bawa pulang? Saya memilih dibawa pulang, karena kedai ini kecil lebih mirip kedai take away, hanya ada 1 meja besar dengan beberapa bangku, meja tersebut juga yang digunakan si pemilik untuk duduk, maka saya merasa tidak nyaman makan batagor sendirian bersama dengan bapak pemilik kedai. Setelah membayar sepuluh ribu rupiah saya kemudian bergegas menuju rumah tante.

Begitu sampai rumah tante saya yang hanya berjarak 10 menit dari kedai, saya segera menikmati batagornya, dengan terlebih dahulu menyiramkan bumbu kacang kental di atas baso tahu goreng ini. Tidak ada saus sambal kemerah-merahaan yang kadang saya rasa tidak sehat. Saya sangat puas hanya dengan bumbu kacang ini. Batagornya begitu enak, pedasnya pas, kenyalnya pas, tentu tidak ada rasa vetsin yang membuat tenggorokan terasa seperti terbakar.
Saya menyesal kenapa tidak dari dulu dulu ketika saya berkunjung ke rumah tante dan berwisata kuliner batagor ini.
Surabi Duren Mang Uban-Seseupan, Ciawi-Bogor.

Hari libur panjang peringatan paskah yang lalu, saya putuskan untuk mengunjungi saudara saya yang rumahnya berada di sebuah desa di Bogor. Cibedug nama desa itu, sebuah desa yg terletak tidak jauh dari Tapos, peternakan sapi keluarga Soeharto.
Sebelum sampai Cibedug, saya biasanya mampir ke sebuah kedai surabi duren yg telah menjadi langganan saya sejak 2011.
Kedai surabi duren ini terletak di Jl raya Puncak, Ciawi, Bogor,di sebuah perempatan jalan yang disebut dengan Seseupan. 
Di pojok Seseupan, di sebelah kiri jalan dari arah Ciawi inilah kedai Surabi berada. Surabi Duren Mang Uban namanya, kedainya terbuat dari bambu dengan banyak tungku di bagian depan. Kedai ini selalu ramai, benar benar tak pernah sepi pengunjung, entah weekdays atau weekend.
Dulu meja di kedai mang uban ini hanya berjumlah empat buah dilengkapi dengan empat bangku pada masing-masing meja, setahun belakangan dengan makin tak tertampungnya pembeli, Mang Uban meluaskan kedainya menjadi lebih dari sepuluh meja, menjadi sebelas meja kalau saya tidak salah hitung.

Walau judulnya surabi duren, namun kedai ini tidak hanya menyediakan surabi duren. Puluhan jenis surabi yang aslinya hanya ditemani kinca kini menjadi variasi rasa, surabi strawberry, surabi keju, surabi pisang, surabi nangka, surabi coklat, surabi kacang, surabi kismis dan lain lain. Jika memilih surabi duren, maka surabi akan ditemani dengan kinca duren kental berwarna kekuning kuningan.
Hari itu saya memilih surabi pisang keju karena kebetulan saya tidak begitu suka duren.
Tak lama Surabi datang dengan susu meleleh dan parutan keju yang tebal di sebuah piring kecil dilengkapi sendok dan garpu. Panas panas saya santap, surabi berukuran cukup mengenyangkan ini saya santap dengan lahap, begitu lezat, kenyalnya surabi bermain di lidah saya, parutan keju dan irisan pisang menambah sempurna rasa surabi yang matang dengan baik ini. Sebelum sampai ke meja saya, adonan surabi terlebih dahulu dimasak di atas tungku dengan menggunakan wajan kecil terbuat dari tanah liat, adonan surabi dimasak tanpa minyak, setelah adonan dituang ke atas wajan kecil tanah liat kemudian surabi ditutup dengan tutup yang terbuat dari tanah liat juga dan dibiarkan beberapa menit sampai surabi matang.

Bagi yg menyukai surabi dengan cita rasa asli bisa memilih surabi kinca hanya 4000 rupiah saja. Surabi pisang keju pilihan saya pun hanya 7500 rupiah, dan saya selalu makan dua surabi di kedai ini, tidak pernah bisa makan hanya satu surabi, bagi saya satu tidak pernah cukup. Surabi jenis lain juga berkisaran harga 7000-8000 dan paling mahal seharga 10.000 yaitu surabi ayam telur keju special. Mungkin sesekali saya harus  mencicip surabi ayam telur keju spesial ini. 
Selain menyediakan menu aneka surabi, Mang Uban juga menyediakan menu lain yaitu roti bakar duren yang terdiri dari varian rasa seperti roti bakar duren pisang, roti bakar duren coklat, roti bakar duren keju dan lain lain. Ada juga sop duren, yang varian rasanya bisa dipilih yaitu sop duren roti, sop duren buah, sop duren keju dan lain lain, selain itu juga menyediakan ketan duren biasa da ketan duren keju.


Kedai mang Uban buka dari siang sekitar jam satu dan tutup sekitar jam sepuluh malam.
Ke Bogor atau ke Puncak memang terasa tidak lengkap tanpa mampir ke surabi mang Uban. Begitu pas makan surabi di tengah cuaca Puncak yang selalu dingin. Saya sempat berbincang bincang dengan istri Mang Uban, menurutnya kedai surabi Mang Uban juga telah buka cabang di Perumnas Tangerang minggu lalu.
Jadi bagi yang tidak sempat ke Ciawi atau karena terlalu jauh. mungkin bisa mencoba aneka menu menggirukan yang ada di kedai Surabi Mang Uban di Tangerang.

-April 2014-
Bermalam Minggu dengan Es Campur Bangka

Malam minggu yang lalu adik saya mengajak mencicip es campur Bangka.
Saya yang kebetulan sedang tidak malam mingguan, menyetujui karena memang belum pernah mencicip es campur Bangka. Saya bahkan tidak terbayang bagaimana rasanya dan apa bedanya dengan es campur yang lain, walau adik saya bilang “sumpah enak banget, beda deh sama es campur lain”.
Es campur Bangka ini terletak di depan sebuah Ruko, di perumahan Taman Royal Indah 1 di Cipondoh, Tangerang. Di perumahan ini jika malam memang disulap menjadi tempat wisata kuliner, aneka makanan dijajakan dari mulai bubur ayam, pempek, kebab atau aneka gorengan. Rata rata penjaja kaki lima, tetapi juga terdapat rumah makan cepat saji yang bisa menjadi pilihan.

Malam itu kami menuju Perumahan Taman Royal yang terletak hanya sekita 10-15 menit dari rumah, tidak sampai 5 menit dari jalan utama, kami sudah menemukan letak penjual es campur Bangka. Letaknya bersebelahan dengan penjual kebab dan di depan Ruko penjual pakaian bayi.
Penjual es campur ini hanya menggunakan gerobak biasa dengan tulisan sederhana di kaca gerobaknya “Es Campur Bangka 8000”. Saya sampai sana sekitar jam 19.30 dan antrian sudah ramai, saya sempat menghitung ada 16 orang yang menunggu dilayani, itu artinya saya nomor ke tujuh belas, saya perhatikan pembeli masih saja terus berdatangan. Baiklah saya akan sabar menanti, dari antriannya saya mulai mempercayai kata kata adik saya, kalau tidak enak, antriannya tidak akan sebanyak ini. Kami memutuskan untuk tidak makan di tempat, karena kursi yang ada sudah penuh. Di belakang gerobak disediakan satu meja besar dengan satu bangku panjang yang cukup untuk 4-5 orang dan beberapa bangku single, jadi memang terbatas. Tibalah giliran saya untuk dilayani, saya lihat di dalam gerobak terdapat beberapa wadah plastik besar mirip baskom yang masing masing berisi irisan nata de coco, kacang hijau rebus, kacang merah rebus, agar agar berwarna pink, cincau hitam dan cendol. Masing masing bahan itu dimasukkan ke kantong plastik, lalu ditambahkan santan, dan gula cair, kemudian es serut dalam jumlah banyak, terakhir disiram dengan susu kental manis putih dan sirup merah. Untuk susu kental manis bisa memilih, mau susu kental manis putih atau susu kental manis coklat. Saya tidak tahu sirup merah itu apa, saya ingin ngobrol dengan penjualnya tetapi tidak mungkin, melihat ia hanya berdua dengan asistennya, tidak tega rasanya mengganggu dengan pertanyaan di sela sela kesibukan tangannya meracik es campur dengan gesit.
Saya hanya sempat tanya ke asistennya bahwa si  penjual memang orang Bangka asli dan telah berjualan selama delapan bulan, hanya itu info yang saya dapat.

Es campur pun kami bawa pulang. Sampai di rumah tentu saya tidak bisa mengharapkan es campur dengan serutan es yang menggunung karena sudah agak meleleh. Es campur saya tuang ke dalam mangkok dan dengan tak sabar saya mulai menyendok dan “wow” itu komentar pertama saya, saya tetap konsentrasi minum sampai es campur habis tak bersisa. Saya bisa merasakan kacang merah yang begitu pulen, empuk dan manis, kacang hijau yang juga begitu empuk, ditambah sensasi nata de coco dan bahan bahan yang lain, enak sekali, manisnya pas, tidak membuat eneg, saya memang tidak suka makanan yang terlalu manis. Saya berkali kali menemukan sop buah atau es campur dengan sirup kemerahan yang sangat manis, sehingga suatu hari teman saya yang datang dari Jerman berkomentar “ aku rasa orang Indonesia bisa terjangkit diabetes semua kalau makanannya semanis ini”. Tetapi es campur Bangka ini tidak seperti itu, manisnya benar benar pas, dan saya merasa masing masing bahan diolah dengan baik, Saya sempat melihat nata de coco yang digunakannya bermerk terkenal yang biasa saya gunakan juga, dan saya tetap takjub dan memikirkan kacang merah yang besar besar, merekah, empuk dan manis itu, saya kira dicampur dengan coklat atau gula, dan pertanyaan ini akan terjawab keesokan harinya.
penampakan es campur Bangka ketika dibawa pulang, serutan es tidak lagi menggunung


Ya keesokan harinya saya ke sana lagi dengan adik saya. Minggu malam saya ke sana, selalu di malam hari karena es Campur Bangka ini memang bukanya dari jam 15.00-22.00 atau sampai jam 23.00.
Malam itu gerimis turun, saya yakin sekali tidak akan ada antrian, keyakinan saya hampir menjadi kenyataan, saya lihat antrian tidak sebanyak malam sebelumnya, itu artinya saya akan punya kesempatan berbicang bincang dengan pemiliknya yang sekaligus melayani pembeli langsung.
Malam itu kami bisa  makan di tempat karena kursi masih terlihat kosong.
Seperti biasa semua bahan dimasukkan ke dalam mangkok lalu disiram dengan gula cair dan santan, lalu ditambahkan es serut yang menggunung dan disiram dengan susu kental manis dan sirup merah, saya selalu memilih susu kental manis putih.
Kami menikmati es campur sambil bersenda gurau dan membicarakan betapa enak kacang merahnya. Saya betul betul penasaran dan tak sabar bertanya. Saya lirik antrian mulai sepi, saya dekati pemiliknya dan saya tanyakan perihal kacang merah yang begitu empuk. Si pemilik yang ternyata ramah ini pun berbagi rahasia ia bilang bahwa kacang merah direbus selama tujuh jam untuk menghasilkan seempuk itu, kacang merah yang dipiluh adalah kacang merah biasa dan tidak dicampur apapun, jadi betul betul mengandalkan kesabaran dalam merebus. Begitu pula dengan kacang hijau, ia merebus kacang hijau selama dua jam.
Lalu saya tanyakan perihal sirup merah yang saya yakin juga turut andil membuat es campur ini terasa begitu istimewa, ternyata sirup tersebut dibuat dari sari pisang ambon, ia bilang bibinya yang membuat sirup merah itu, si bibi telah membuat sirup merah selama 25 tahun. Sirup merah itu tidak memberikan efek manis, hanya sebagai pengharum saja, manisnya es didapat dari gula cair.
penampakan es campur Bangka siap disantap

Malam itu saya membawa pulang satu bungkus es campur Bangka.
Saya memang tidak terlalu mengenal makanan Bangka selain martabak Bangka yang terkenal atau es kacang merah Bangka.  Mencicip es campur Bangka malam itu ternyata membuat saya ketagihan, saya senang hanya butuh waktu sepuluh menit jika tiba tiba saya rindu es campur Bangka ini lagi. Ternyata makanan Bangka enak enak, sama seperti kota Bangka itu sendiri yang saya dengar begitu indah.


-April 2014-

Jumat, 17 Januari 2014

Suatu Pagi di Musim Dingin di Airport Frankfurt


berpose sebelum memasuki pesawat Lufthansa -Frankfurt-

mendarat di Dresden dengan aman, disambut salju yang begitu tebal dan menyeret kopor menuju Apartemen yang jaraknya cukup jauh dari halte bus

aku berlari sekencang mungkin menerobos meja imigrasi dengan berteriak,
"I am late" sambil menujukkan tiket kepada petugas, hanya tinggal 5 menit waktuku untuk mencapai gate penerbangan berikutnya, nafasku tersengal sengal ketika sampai di meja khusus penerbangan Lufthansa di gate 13, penerbangan yang selanjutnya akan membawaku ke Dresden. Jarak gate tempat pesawat landing dengan gate untuk penerbanganku berikutnya ternyata cukup jauh. Aku masih mengatur nafas sambil menujukkan tiket kepada seorang wanita penjaga meja. Dia tersenyum manis sambil berkata,
"pesawat anda baru saja take off" aku melotot dan melirik jam tangan, jam 9 tepat, artinya aku terlambat 10 menit. Aku di Frankfurt di kota yang sama sekali asing bagiku dan sekarang ketinggalan pesawat pula. Aku bengong...melalui kaca besar airport aku tatap salju yang turun dengan deras, mematung untuk sekian detik dan kemudian aku dengar,
"tapi saya akan atur flight anda agar dapat terbang dengan pesawat berikutnya
aku tersenyum tak kalah manis dan berkata, " Danke, this is not my fault, the flight from Singapore was taking off late" dia membalas senyuman dan melakukan tugasnya memasukkan namaku untuk penerbangan berikutnya sebagai penumpang cadangan.
Oh seketika salju dingin di luar terasa hangat sehangat kopi pagi yang tersedia dengan gratis di airport itu.
Satu jam kemudian saya sudah di atas pesawat yang membawa ke Dresden. Salju masih turun dengan deras.

How I met Ibrahim for The First Time


August-2009
Ini perjalanan pertama kali saya ke Jerman. Ke negeri yang penduduknya pintar pintar dan sempurna tanpa cacat, begitu ayah saya biasanya bercerita, mengagumi kecerdasan orang orang Jerman. Saya rasa ayah saya bercerita demikian karena melihat BJ Habibie yang demikian pintar itu lulusan sebuah perguruan tinggi di Jerman, maka ayah saya berpikir pasti orang orang Jerman sepintar Habibie. Saya deg degan setiap kali ayah saya bercerita tentang orang orang Jerman, saya hanya berpikir semoga saya tidak melakukan hal bodoh yang memalukan di depan orang orang yang sempurna itu.
Sebenarnya ini bukan pertama kali saya ke Jerman, beberapa tahun lalu saya ke sana, tetapi naik mobil dari Amsterdam bersama seorang sahabat. Saya ingat hari itu saya ketiga negara yang berbeda dalam 1 hari, makan pagi di Amsterdam, makan siang di Belgia dan menikmati kopi dan cake di sore hari di Jerman dan makan malam di Amsterdam. Di negara-negara kecil namun begitu maju itu cukup beberapa jam berkendara saja maka kita sudah sampai di negara yang berbeda. Saya iri, bahkan 12 jam mengendara mobil dari Jakarta maka saya akan sampai di Surabaya, masih wilayah Indonesia juga. Ah tapi sebenarnya saya bangga juga kok dengan Indonesia yang demikian luasnya ini.
Oh ya masih cerita perjalanan saya, kemudian saya mendarat di Doha, Qatar. Di negeri yang kaya minyak ini saya transit selama 3 jam. Sampai akhirnya tibalah saya harus terbang lagi menuju tujuan akhir, Berlin. Di dalam bus yang mengantarkan penumpang dari ruang tunggu ke tempat pesawat parkir, saya melihat seorang pria bermuka arab, berkulit putih, berhidung mancung memegang passport berwarna hijau bertuliskan Pakistan.
Saya beranikan diri mendekatinya dan bertanya
‘hi are you Ibrahim from Pakistan?”
“yes, how do you know?”
“ I was behind you when the staff asked about your destination, I thought you must be Ibrahim, you were saying about internship thing, and I got all your emails and I think we are in the same flight”
“ohh cool, what’s your name?”
berpose di Alexander Platz

Hari kedua di Berlin,exploring...


Kami kemudian berbicara tentang bahwa dia akan magang di sebuah lembaga teater di Berlin, dan bahwa saya akan magang di sebuah Film Festival Asia di Berlin. Ya kami berdua adalah penerima beasiswa dari sebuah lembaga di Stuttgart untuk melakukan magang di lembaga yang diminati. Tentu saya sudah tahu nama nama penerima beasiswa, dari negara mana mereka berasal, akan magang di lembaga apa, kota apa dan kapan mereka akan tiba di kota kota yang tersebar di seluruh Jerman termasuk Ibrahim. Pemberi beasiswa  menginformasikan hal hal tersebut kepada kami. Itulah mengapa juga saya menerima email email Ibrahim, karena ia tahu dari daftar yang ia terima ada nama saya di kota yang sama dengannya.
Saya senang, belum sampai Berlin saya sudah mendapatkan teman. Ibrahim ini yang kemudian menjadi teman saya menjelajah Berlin, bersama Ibrahim pula saya tersesat ketika mencoba menemukan alamat sebuah masjid untuk mengikuti buka puasa bersama dan sholat tarawih. Ya saat itu bulan Ramadhan, di pergantian musim panas ke musim gugur, dimana matahari masih bersinar sampai jam 8 malam.
Ssstt tapi ada satu hal, cerita ayah saya tentang orang orang Jerman yang pintarnya sempurna itu tidak 100 persen benar lho.

Kamis, 16 Januari 2014

Bi Nanah

Akhir pekan lalu aku pergi ke sebuah desa bernama Cibedug. Desa  ini dikelilingi oleh bukit, sawah dengan sungai kecil mengalir di sisinya dan gunung salak yang nampak jelas dari beranda  sebuah rumah tempat aku biasa memandanginya atau memandang kerbau yang sedang membajak sawah, ya kerbau yang saat ini sudah sangat langka ditemukan untuk membajak sawah itu masih digunakan  petani  desa Cibedug  untuk membajak sawah mereka. Terdengar seperti dongeng indah dalam cerita memang, tapi itulah desa kakakku tercinta. Tempat beliau menanamkan cintanya untuk suami dan anak-anaknya, membangun keluarga bahagia di desa kecil ini. Sebenarnya perempuan yang aku sebut kakak ini bukanlah kakak kandungku, usianya sama dengan usia ibuku. Aku mengenalnya ketika kami sama sama mendapat beasiswa untuk kursus bahasa Jerman di Jerman. Ia guru bahasa Jerman di sebuah SMU di Bogor dan saya baru mulai belajar bahasa Jerman, tentu kelas kursus kami berbeda. Kami sangat dekat ketika di Jerman dan kedekatan itu berlanjut sampai kami pulang ke Indonesia. Kami sudah seperti keluarga, Ia sudah seperti kakakku sendiri. Hampir setiap bulan aku mengunjunginya. Anak anak nya  yang perempuan semua itu juga sudah seperti adik-adikku. Mereka berdua anak anak yang manis dan sangat santun. Bagiku mereka adalah keluarga kecil bersahaja yang selalu menjadi panutanku. Suatu saat aku akan bercerita tentang mereka. Untuk kali ini, aku ingin bercerita tentang perempuan lain yang juga selalu aku nantikan ketika bertandang ke desa ini.
surprise banget melihat kerbau membajak sawah, seperti di buku cerita. pemandangan ini bisa dilihat dari beranda rumah lho

Ini rumah indah itu
diselimuti kabut


Nah di desa ini selain mengunjungi kakakku dan anak anaknya yang selalu kurindukan itu, aku biasanya juga suka sekali dipijit. Bi Nanah nama pemijit itu, ia satu satunya tukang pijit yang aku suka dan cocok. Bi Nanah belumlah tua benar, aku rasa usianya sekitar 50 tahun lebih sedikit, jalannya masih tegak lurus dan terlihat segar bugar. Kulitnya  seperi kebanyakan warna kulit perempuan Indonesia, rambutnya selalu diikat,sebenarnya aku tidak memperhatikan apakah rambutnya hanya diikat saja atau dikonde atau dicepol, wajahnya bertipe bulat dan bi Nanah selalu mengenakan rok.
Selama ini aku tidak suka dipijit karena aku merasa geli jika ada yang memegang bagian tubuhku, aku biasanya meronta dan selama ini aku merasa aktivitas dipijit itu tidak ada gunanya, tidak ada pengaruh apapun ke tubuhku. Tetapi melalui tangan bi Nanah, wah badanku yang pegal pegal, pundakku yang sakit berganti menjadi segar seketika. Aku bisa merasakan urat-uratku  yang mengeriting diurut diluruskan kembali.  Biasanya aku hanya mengenakan selembar kain atau sarung, tanpa pakaian dalam, lalu tidur tengkurap dan bi Nanah akan memijit dimulai dari bagian bawah, dari kaki sampai kepala, bagian depan lalu bagian depan, dari posisi tengkurap dampai posisi duduk. Satu hal yang istimewa adalah bi Nanah tidak menggunakan sembarang minyak . Ia membawa minyak hasil ramuannya sendiri yang terbuat dari campuran minyak santan, daun sirih, daun pandan, daun salam, kayu manis, cengkeh, biji pala, jahe dan sedikit garam. Pantas minyak itu terasa nyaman, wangi dan segar di tubuh. Aku selalu rindu pijitan tangan halus bi Nanah.

Hampir setiap bulan aku mengunjungi kakkku dan tiap bulan itu pula aku rindu dipijit dengan ditemani suara air mengalir dari sungai kecil tak jauh dari rumah kakakku yang memantul melalui bukit atau suara aneka serangga dan udara yang begitu sejuk membuat aku terkantuk kantuk jika sedang dipijit. Setelah itu hanya segar yang kurasakan.Tidak perlu membayar mahal seperti spa di Bali atau pijit di Mal yang sampai ratusan ribu. Aku cukup membayar 40.000 rupiah saja.
Bi Nanah biasanya datang setelah aku telepon atau sms. Ia datang diantar ojek, mengucap salam “Assalamualaikum”, dan kami bersalaman  lalu sedikit bertanya tentang kabar dan menyilakan bi Nanah meminum minuman yang sudah disiapkan, begitu biasanya ritual untuk menyambut bi Nanah.
Hari itu, aku tetap men yimpan rindu dipijit bi Nanah yang setiap kali memijitku ia selalu berkomentar “neng mulus pisan” lalu kami bercerita banyak hal, tapi biasanya aku selalu terkantuk kantuk seperti yang kusebutkan tadi. Tapi aku masih ingat banyak hal tentang bi Nanah. Rumah bi Nanah terletak di desa seberang, di desa yang ada pancuran air yang mengalir langsung dari pegunungan. Siapa saja boleh mandi di situ. Ia hidup hanya bersami suami yang sudah tidak mampu lagi bekerja dan cucu perempuannya. Anak perempuan bi Nanah yang merupakan ibu si cucu bekerja di luar pulau Jawa sedangkan suaminya sudah lama meninggalkannya.

Itulah bi Nanah yang selalu setia menjadi  pemijit dengan segala kesederhanannya.

Namun bi Nanah sekarang sudah tidak ada lagi. Satu bulan yang lalu kakakku mengabarkan  bi Nanah telah meninggal tanpa diketahui sebabnya. Aku shock, betul betul terkejut. Tak ada tanda tanda bi Nanah sakit, Ia segar, benar benar segar dan sehat. Sampai sekarang aku sedih dan tetap menyimpan rindu untuk dipijit olehnya dan rindu pujiannya “neng mulus pisan” Ah bi Nanah…

menikmati pijitan bi Nanah